Tukarlah 900 Yen itu

Tahun 2015, saya sempat singgah di Tokyo untuk beberapa hari. Oleh teman, saya kemudian diajak berkeliling ke beberapa tempat di kota itu, melihat-lihat Ibu kota Jepang. Salah satu spot yang kami junjungi kala itu adalah Tokyo Tower, menara yang terletak di jantung kota dan jadi salah satu arsitektur penting yang menjadi simbol kota. Kami datang dan masuk ke bangunan di kaki tower itu. Waktu itu saya melihat ongkos untuk naik ke atas menara itu adalah 900 yen (sekitar 100rb). Saya ingat betul waktu itu, saya enggan naik karena 900 yen rasanya terlalu mahal untuk sekadar naik dan melihat pemandangan sekitar Tokyo dari situ. Saya pun dengan sengaja melewatkannya. Kami lalu pergi dan menuju ke tempat yang lain. Tentu sebenarnya mengeluarkan 900 yen tidak akan membuat saya tidak makan hari itu atau beberapa minggu ke depan. Hanya saja rasanya, it’s not worth it, yang ditawarkan tidak sepadan dengan biayanya. Terlepas dari kesan setiap orang yang memang akan berbeda, tapi saya kemudian mendapat pelajaran lain dari ini.

Hal yang mirip seperti itu terjadi lagi, meski tak persis sama. Suatu waktu kami, saya dan istri, jalan-jalan di Fukuoka, setelah sampai di beberapa tempat wisata saya tanya ke dia, “mau coba? mau ikut? atau mau masuk?” Sebagian iya, sebagian ia menggeleng dan saya pun tak memaksa, sebagian lagi kami pikir terlalu mahal hingga dengan sengaja kami melewatkannya.

Apakah 900 yen di awal tadi bisa saya ingat sampai sekarang? Tentu tidak. Uang 900 yen itu sama rasanya seperti 900 yen yang lain di dompet saya saat itu. Namun, jika saya mengubah itu menjadi memori, memori itu setidaknya akan tinggal lama di otak saya, jika bukan selamanya. Dalam ilmu syaraf, memori terbentuk dari ketersambungan sel syaraf (neuron) dengan lainnya atau disebut synaps. Anda bisa bayangkan, jika Ada ada di suatu tempat yang baru akan ada terbentuk jalur pipa baru untuk menyimpan informasi tersebut. Sambungan yang dibentuk tersebut khas untuk satu momen atau memori yang di simpan. Selain itu, memori juga terbentuk dari input yang masuk ke syaraf. Itulah mengapa melihat gambar sebuah bangunan tidak sama dengan memasukinya secara fisik, mata yang melihat, suara yang didengar, bau yang tercium, aktivitas yang dilakukan dll. Jadi, melewatkan suatu momen adalah melewatkan untuk memiliki memori tentang momen tersebut. Apa yang membuat orang menghabiskan jutaan untuk melancong ke berbagai tempat? Menurut saya mungkin mereka ingin melihat tempat lain, melepas penat, menambah pengalaman dan teman, mendapat cerita, dan pada akhirnya semuanya disimpan dalam memori. Mereka menukarnya uang itu dengan hal yang dapat bertahan lebih lama, memori.

Selain tentang memori, hal lain adalah tentang momen. Dalam bahasa Jepang ada istilah ichigo ichie, secara harfiah satu kali, satu pertemuan. Lebih tepatnya adalah, satu momen terjadi hanya satu kali. If you miss it, you miss it. Jika kita melewatkannya, ia berlalu. Jika pada suatu waktu ada kesempatan yang sama, itu adalah kesempatan yang lainnya, tidak sama dengan yang dulu datang. Jika saat itu saya tukar 900 yen saya dengan memori itu, maka akan berbeda dengan 10 tahun kemudian meski tampak saya melakukan yang sama. Dunia, kita, dan waktu sudah tidak sama.

Terakhir, jangan salah perspektif tentang mahal. Saya kadang sering salah mengambil pertimbangan. Padahal, jika saya ingin mengulang kesempatan itu di masa sekarang, ongkosnya pasti akan jauh lebih dari 900 yen. Mudah-mudahan tulisan ini tidak disalahartikan menjadi mengajak untuk hedon dan jalan-jalan. Bukan ya, karena saya juga tidak memungkiri soal bijak mengelola uang. Ini tentang mengambil momen, membuat memori, dan kadang kita perlu menukar uang kita untuk itu. Jadi, jangan lewatkan untuk membuat banyak memori yang akan dikenang sepanjang hidup. Tukarlah 900 yen itu dan lainnya dalam hidup untuk hal yang bertahan lebih lama karena lembaran uang tak mampu memberi dan menyimpan kenangan.

Salatiga, 2 Desember 2022

Leave a Comment